Ahad, 2 Juni 2013 bakda Magrib
di Perempatan Wojo Jalan Imogiri Barat Km 4,5 berkendara motor vario dengan
kaos putih. Dari rumah melaju menuju jalan raya setelah sebelumnya menyeberang
dari gapura ngancar bangunharjo sewon bantul. Tepat lampu hijau.
PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME
PENYELENGGARAAN
NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME
Pendahuluan
Sudah
menjadi tekad pemerintah untuk menjalankan tugas dan kewenangannya dengan penuh
tanggung jawab, bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Tekad tersebut
tidak hanya dicetuskan oleh jajaran pemerintah saja, namun juga oleh seluruh
penyelenggara negara dalam rangka mencapai tujuan bernegara sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Hal tersebut terkait dengan kenyataan bahwa
penyelengara negara mempunyai peranan yang sangat menentukan di dalam
penyelenggaraan negara untuk mencapai cita-cita perjuangan bangsa sebagaimana
tercantum di dalam UUD 1945.
Dalam
kurun waktu lebih dari 30 tahun, penyelenggara negara tidak dapat menjalankan
tugas dan fungsinya secara optimal, sehingga penyelenggaraan negara tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Hal itu terjadi karena adanya pemusatan
kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab pada Presiden. Di samping itu,
masyarakatpun belum sepenuhnya berperan serta dalam menjalankan fungsi kontrol
sosial yang efektif terhadap penyelenggaraan negara. Pemusatan kekuasaan,
wewenang dan tanggung jawab tersebut tidak hanya berdampak negatif di bidang
politik, namun juga di bidang ekonomi dan moneter antara lain terjadinya praktiek
penyelenggaraan negara yang lebih menguntungkan kelompok tertentu dan memberi
peluang terhadap tumbuhnya KKN (Penjelasan Umum angka 1 UU No. 28 Tahun 1999).
Sebagaimana
dimaklumi bahwa penyelewengan yang sering terjadi, tidak hanya dilakukan oleh
penyelenggara negara, antara penyelenggara negara, melainkan juga antara
penyelenggara negara dengan pihak lain seperti keluarga, kroni dan para
pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara serta membahayakan eksistensi negara.
Dalam
rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sesuai dengan tuntutan
reformasi diperlukan kesamaan visi, persepsi dan misi dari seluruh
penyelenggara negara dan masyarakat. Kesamaan visi, persepsi dan misi tersebut
harus sejalan dengan tuntutan hati nurani rakyat yang menghendaki terwujudnya
penyelenggaraan negara yang mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara
sungguh-sungguh, penuh rasa tanggung jawab, yang dilaksanakan secara efektif,
efisien, bebas dari KKN.
Sejalan
dengan tekad untuk terwujudnya penyelenggaraan negara yang bersih dari
unsur-unsur KKN tersebut, MPR telah membuat Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Untuk memaksimalkan tugas
penyelenggara negara yang bebas dari KKN, TAP MPR No. XI/MPR/1998 tersebut
kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan UU No. 18 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)
Mampu
memahami penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme.
Tujuan Pembelajaran Khusus
(TPK)
1. Menjelaskan asas-asas umum
penyelenggaraan negara,
2. Menguraikan akuntabilitas
kinerja instansi pemerintah.
3. Mengidentifikasi
lembaga-lembaga yang mengawasi jalannya pemerintahan.
4. Mengindentifikasi
lembaga-lembaga pemerintah.
ASAS-ASAS
UMUM PENYELENGGARAAN NEGARA
Dalam UU No. 18 Tahun 1999 dan
UU No. 25 Tahun 2004 telah ditetapkan asas-asas umum penyelenggaraan negara:
1. Asas Kepastian Hukum
Adalah asas dalam negara hukum
yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, keputusan dan keadilan
dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara.
2. Asas Tertib Penyelenggaraan
Negara.
Adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengabdian
penyelenggaraan negara.
3. Asas Kepentingan Umum
Adalah
asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif,
akomodatif dan seletktif.
4. Asas Keterbukaan
Adalah
asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang
benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggara negara dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.
5. Asas Proporsionalitas
Adalah
asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggaraan
negara.
6. Asas Profesionalitas
Adalah
asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Asas Akuntabilitas
Adalah
asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan
penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
8. Asas Efisiensi
Adalah
asas yang mengutamakan kesederhanaan, penghematan, ketepatan dan daya guna yang
baik terhadap penggunaan sumber daya.
9. Asas Efektivitas
Adalah asas yang
mengutamakan keberhasilan tujuan penyelenggaraan negara.
Asas-asas penyelenggaraan
negara di atas merupakan pedoman bagi seluruh penyelenggara negara di dalam
menjalankan tugas kewenangannya dalam menciptakan iklim kepemerintahan yang
baik (good governance). Dengan
menggunakan hal tersebut sebagai acuan, maka tujuan nasional dalam mewujudkan
suatu negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur niscaya akan
tercapai. Visi dan misi bernegara merupakan suatu keniscayaan untuk dicapai
apabila semua penyelenggara negara menghindari perilaku KKN sebagai akar penyebab
sulitnya negara bangkit dari keterpurukan akibat krisis yang melanda negeri
ini.
AKUNTABILITAS
KINERJA INSTANSI PEMERINTAH
Sebagai
pelaksana asas akuntabilitas, diterbitkan instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999
tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerntah. Di dalam Inpres tersebut
dinyatakan bahwa dalam rangka lebih meningkatkan pelaksanaan pemerintahan yang
lebih berdaya guna, bersih dan bertanggung jawab, dipandang perlu adanya
pelaporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah untuk mengetahui
kemampuannya dalam pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi.
Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) dimaksudkan sebagai perwujudan kewajiban
suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan/kegagalan
pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan melalui alat pertanggungjawaban secara periodik. Sebagai contoh,
tiap-tiap unit di Departemen Keuangan setiap tahun diwajibkan membuat Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) mulai dari eselon II ke atas.
Seiring dengan perubahan waktu, paradigma yang
berkembang adalah dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2006
tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemeringa, di mana dinyatakan
bahwa dalam informasi tambahan keuangan pemerintah pusat/daerah wajib
disertakan atau dilampirkan informasi tambahan mengenai Kinerja Instansi
Pemerintah, yakni prestasi yang telah dicapai oleh Pengguna Anggaran sehubungan
dengan anggaran yang telah digunakan. Pengungkapan informasi tentang kinerja
ini adalah relevan dengan perubahan paradigma penganggaran pemerintah yang
ditetapkan dengan mengindentifikasi secara jelas keluaran (outputs) dari setiap kegiatan dan hasil (outcomes) dari setiap program. Untuk keperluan tersebut, perlu
disusun suatu sistem akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang
terintegrasi dengan sistem perencanaan strategis, sistem penganggaran dan
sistem akuntansi pemerintah.
Salamoen Soeharyo dan Nasri Effendy
(2003: 9) memberikan rumusan tentang akuntabilitas sebagai berikut:
“Akuntabilitas adalah kewajiban
untuk memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan
tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang
memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau
pertanggungjawaban”.
Berdasarkan pada pengertian tersebut di atas, maka
semua instansi pemerintah, badan dan lembaga negara di pusat dan daerah sesuai
dengan tugas pokok masing-masing harus memahami lingkup akuntabilitasnya
masing-masing, karena akuntabilitas yang diminta meliputi keberhasilan dan juga
kegagalan pelaksanaan misi instansi yang bersangkutan.
Apa yang dikemukakan oleh kedua penulis tersebut
sejalan dengan maksud dari ketentuan yang termaktub dalam Inpres No. 7 Tahun 1999,
di mana Sistem Akuntabilitas Instansi Pemerintah mempunyai sasaran sebagai
berikut:
1. Menjadikan instansi pemerintah
yang akuntabel sehingga dapat beroperasi secara efisien, efektif dan responsif
terhadap aspirasi masyarakat dan lingkungannya.
2. Terwujudnya transparansi
instansi pemerintah.
3. Terwujudnya partisipasi
masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan nasional.
4. Terpeliharanya kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah.
Prinsip Akuntabilitas
1. Harus ada komitmen dari
pimpinan dan seluruh staf instansi untuk melakukan pengelolaan pelaksanaan misi
agar akuntabel.
2. Harus merupakan suatu sistem
yang dapat menjamin penggunaan sumber-sumber daya secara konsisten dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Harus dapat menunjukkan
pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
4. Harus berorientasi pada
pencapaian visi dan misi serta hasil dan manfaat yang diperoleh.
5. Harus jujur, obyektif,
transparan dan inovatif sebagai katalisator perubahan manajemen instansi
pemerintah dalam bentuk pemutakhiran dan teknik pengukuran kinerja dan
penyusunan laporan akuntabilitas.
Responbillitas
Responbilitas/pertanggungjawaban mirip pengertiannya
dengan akuntabilitas, yang membedakan adalah responbilitas lebih menunjuk pada
pertanggungjawaban seorang bawahan kepada atasan, dan yang
dipertanggungjawabkan terbatas pada outputs.
Sedangkan akuntabilitas merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada semua stakeholders dan yang
dipertanggungjawabkan tidak sekadar outputs,
tetapi sampai pada outcomes. Contoh:
Departemen
Pekerjaan Umum (PU) membangun jalan, pada suatu ketika jalan tersebut berlobang
dan membuat seseorang yang berjalan atau berkendaraan mendapatkan kecelakaan,
maka dalam hal ini Departemen PU dapat dituntut oleh orang tersebut disebabkan
karena kerusakan jalan tersebut (outcomes).
LEMBAGA
YANG MENGAWASI JALANNYA PENYELENGGARAAN NEGARA
Komitmen pemerintah sudah jelas bahwa di dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN, perlu adanya
upaya-upaya yang maksimal dalam mencegah adanya tindakan-tindakan penyimpangan
yang dilakukan oleh segenap penyelenggara. Upaya-upaya tersebut dapat dilihat
dengan dimungkinkannya peran serta masyarakat untuk ikut dalam proses
penyelenggaraan negara dalam pengertian peran aktif masyarakat untuk ikut serta
mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN yang
dilaksanakan dengan menaati norma hukum, moral dan sosial yang berlaku dalam
masyarakat dan juga dibentuknya beberapa lembaga yang bertugas mengawasi
jalannya penyelengara negara, baik oleh lembaga eksekutif, legislatif maupun
yudikatif.
Lembaga-lembaga yang dibentuk dengan tugas mengawasi
jalannya penyelenggaraan negara bisa berbentuk internal, eksternal maupun
lembaga yang bersifat independen, yaitu:
Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK)
Tindak
pidana korupsi merupakan suatu kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime)
sehingga penanganannya pun harus dilakukan dengan cara yang luar biasa pula.
Upaya-upaya penanggulangannya sampai saat ini masih belum menunjukkan hasil
yang menggembirakan, terbukti masih banyaknya perbuatan pidana tersebut di
mana-mana yang dilakukan pejabat negara/pegawai atau oleh yang lainnya.
Lembaga-lembaga negara yang berkompeten sampai saat ini masih belum berfungsi
secara efektif dan efisien di dalam pemberantasan tindak pidana koripsi.
Kepolisian dan kejaksaan yang selama ini diharapkan dapat menangani kasus-kasus
korupsi, dibuat tidak berdaya, bahkan dinilai oleh khalayak umum bahwa kedua
institusi itupun sudah masuk ke dalam virus korupsi itu sendiri.
Dalam rangka peningkatan pemberantasan tindak pidana
korupsi secara profesional, intensif dan
berkesinambungan, berdaya guna dan berhasil guna pemerintah bersama-sama DPR
telah membentuk UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Dibentuk sebagai lembaga independen dengan tugas dan wewenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi karena lambatnya penanganan
masalah korupsi yang selama ini melanda Indonesia.
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah
lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Dibentuk dengan tujuan
meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak
pidana korupsi. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya berasaskan pada
kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum dan
proporsionalitas.
a. Tugas
Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
mempunyai tugas sebagai berikut (pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002):
1). Koordinasi dengan instansi
yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
2). Supervisi terhadap instansi
yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
3). Melakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
4). Melakukan tindakan-tindakan
pencegahan tindak pidana korupsi.
5). Melakukan monitor terhadap
penyelenggaraan pemerintahan negara.
b.
Wewenang
Dalam
melakukan tugasnya, KPK berwenang (pasal 7 UU No. 30 Tahun 2002)
1) Mengkoordinasikan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
2) Menetapkan sistem pelaporan
dalam rangka kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi.
3) Meminta informasi tentang
kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi.
4) Melaksanakan dengar pendapat
atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi.
5) Meminta laporan instansi
terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
6) Melakukan pengawasan,
penelitian atau penelaah terhadap instansi yang menjalankan tugas dan
wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan KPK dan instansi yang dalam
melaksanakan pelayanan publik.
7) Melakukan penyadapan dan
merekam pembicaraan.
8) Meminta keterangan kepada bank
atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa
yang sedang diperiksa.
9) Memerintahkan kepada bank atau
lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari
korupsi milik tersangka, terdakwa atau pihak lain yang terkait.
10) Memerintahkan kepada pimpinan atau
atasan tersengka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya.
11) Meminta data kekayaan dan data
perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi terkait.
12) Menghentikan sementara suatu
transaksi keuangan, transaksi perdagangan dan perjanjian lainnya atau
pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsensi yang dilakukan atau
dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang
cukup ada hubungannya dengan TPK yang sedang diperiksa.
13) Meminta bantuan interpol
Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian,
penangkapan dan penyitaan barang bukti di luar negeri.
14) Memita bantuan kepolisian atau
instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggledahan
dan penyitaan dalam perkara TPK yang sedang ditangani.
15) Melakukan pendaftaran dan
pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelanggaraan negara.
16) Menerima laporan dan menetapkan
status gratifikasi.
17) Menyelenggarakan program
pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan.
18) Merancang dan mendorong
terlaksana program sosialisasi pemberantasan TPK.
19) Melakukan kampanye anti korupsi
kepada masyarakat umum.
20) Melakukan kerjasama bilateral
atau multilateral dalam pemberantasan TPK.
21) Melakukan pengkajian terhadap
sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah.
22) Memberi saran kepada pimpinan
lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil
pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi.
23) Melaporkan kepada Presiden RI,
DPR dan BPK jika saran KPK mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan.
Di dalam menjalankan tugasnya,
KPK bertangung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka
dan berkala keapda Presiden RI, DPR dan BPK.
Contoh: kewenangan yang
diberikan kepada KPK berkaitan dengan wewenang meminta keterangan pihak bank,
merupakan suatu terobosan hukum dalam memberantas korupsi khususnya di bidang
kejahatan perbankan. Melalui fatwa MA No. KMA/694/R.45/XII/2004 tanggal 2
Desember 2002, KPK diberikan akses untuk membuka rahasia bank. Di dalam
fatwanya tersebut, MA menegaskan bahwa pasal 12 UU No. 30 Tahun 2002 telah
mengatur secara khusus kewenangan KPK, khususnya di dalam pasal 12 huruf c dan
huruf d. Selain itu, berpedoman pada asas bahwa ketentuan UU yang baru sebagai
hukum khusus (lex sepesialis)
mengesampingkan UU yang lama sebagai hukum umum (lex generalis) (asas hukum tersebut dikenal sebagai : lex spesialis
derogat lex generalis), maka prosedur izin membuka rahasia bank sebagaimana
telah diatur dalam pasal 29 ayat (2) dan (3) UU No. 20 Tahun 2001 juncto pasal
42 UU Perbankan tidak berlaku lagi bagi KPK.
Rangkuman
Dalam
rangka meningkatkan kinerja aparatur pemerintah telah diterbitkan Instruksi
Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
sebagai perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk
mempertanggungjawabkan tidak saja keberhasilan, tetapi juga kegagalan dalam
pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Di dalam perkembangan selanjutnya pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan
Pemerintah No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi
Pemerintah, yang dimaksudkan sebagai pengintegrasian antara sistem
akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dengan sistem perencanaan strategis,
sistem penganggaran dan sistem Akuntansi Pemerintah.
Penyelenggara
Negara mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam penyelenggaraan negara
untuk mencapai cita-cita perjuangan bangsa mewujudkan masyarakat yang adil dan
makmur sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.
Dalam
rangka mewujudkan cita-cita tersebut, dibutuhkan penyelenggara negara yang
tidak saja jujur, tetapi juga harus bersih dan bebas dari KKN, mengingat KKN
merupakan perbuatan yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara.
Komitmen
pemerintah di dalam mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari
KKN selanjutnya ditindaklanjuti dengan pembentukan lembaga negara yang bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, seperti KPK sebagai
lembaga independen dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, yang berdasarkan
fatwa MA telah diberikan kewenangan untuk membuka rahasia bank. Sebagai lembaga
yang bersifat super body, KPK diharapkan dapat menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang selama ini meresahkan masyarakat terutama
tindakan korupsi yang melibatkan pejabat atau mantan pejabat yang selama ini
seolah-olah tidak terjangkau oleh hukum.
LEMBAGA-LEMBAGA
PEMERINTAH
Salamoen
Soeharyo dan Nasri Effendy (2003) menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara yang dilaksanakan oleh Presiden dibantu oleh Wakil Presiden
dan para menteri, Presiden menyelenggarakan tugas-tugas umum pemerintahan dan
pembangunan dalam rangka mewujudkan tujuan nasional.
Selanjutnya
dinyatakan bahwa tugas umum pemerintahan adalah tugas-tugas yang sejak dahulu
dilaksanakan oleh pemerintah di mana saja dalam rangka memenuhi kebutuhan dan
kepentingan masyarakat, seperti pemeliharaan keamanan dan ketertiban,
penyelenggaraan pendidikan, pelayanan kesehatan dan lain-lain. Sedangkan tugas
pembangunan adalah tugas-tugas dalam rangka pelaksanaan program-program
pembangunan.
Dengan
adanya lembaga-lembaga penyelenggaraan pemerintah ini, maka tugas-tugas
pemerintahan akan terbagi habis kepada lembaga-lembaga penyelenggara
pemerintahan yang ada (asas pembagian tugas).
Fungsi-fungsi
Penyelenggara Pemerintahan
Pemerintah
harus dapat menciptakan kondisi yang kondusif, sehingga tumbuh kreativitas dan
oto aktivitas masyarakat untuk membangun dalam memenuhi kebutuhan sendiri. Oleh
karena itu dalam GBHN-GBHN pada masa orde baru selalu disebutkan bahwa aparatur
pemerintah harus mampu untuk melayani masyarakat, mengayomi masyarakat dan
memberdayakan masyarakat.
Dalam
hal ini, aparatur pemerintah harus menjalankan ketiga fungsi tersebut, termasuk
BUMN dan BUMD selaku Aparatur Perekonomian Negara/Daerah khususnya Perum dan
Perumda. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aparatur pemerintah terdiri dari
aparatur pemerintahan dan aparatur perekonomian negara sebagai pelaksana dari
tugas-tugas melayani, mengayomi dan memberdayakan masyarakat.
Lebih
lanjut Salamoen Soeharyo dan Nasri Effendy menjelaskan bahwa fungsi ketiga
tersebut sebenarnya justru harus menjadi muara bagi kedua fungsi yang lain,
artinya pelayanan dan pengayoman harus sekaligus diarahkan untuk memberdayakan
masyarakat agar mampu berprakarsa dan berperan serta dengan baik dalam pembangunan.
Fungsi ketiga ini sebenarnya sejalan pula dengan paradigma baru dalam
administrasi negara yang mulai lahir pada awal dekade 90-an, yaitu fungsi
pemberdayaan (empowering). Paradigma baru dalam administrasi negara menekankan
bahwa pemerintah tidak lagi harus menjadi produsen semua barang dan layanan
yang diperlukan masyarakat, tetapi pemerintah harus lebih berperan sebagai
fasilitator dan regulator, sehingga masyarakat mampu dengan baik memenuhi
kebutuhannya sendiri.
Sebagai
contoh, dalam dunia usaha pemerintah menerbitkan peraturan yang dapat mendorong
dunia usaha untuk lebih berproduksi melalui paket-paket kebijakan (Paknop,
Pakde, dan sebagainya).
Kewenangan
Pemerintah Pusat
Kewenangan
Pemerintah Pusat sebelumnya diatur di dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah. Dalam perkembangan selanjutnya, UU No. 22 Tahun 1999
kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Dimaksudkan
sebagai Pemerintah pusat menurut UU No. 32 Tahun 2004 adalah Presiden RI yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara RI sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Adapun
kewenangan Pemerintah Pusat (Pemerintah) yang tidak diserahkan ke Pemerintah
Daerah meliputi kewenangan-kewenangan politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, yustisi, moneter & fiskal nasional dan agama.
Penyelenggaraan
desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah
dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan
pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya/tetap
menjadi kewenangan pemerintah. Urusan pemerintahan tersebut menyangkut
terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan.
Urusan
pemernitahan dimaksud meliputi: politik luar negeri dalam arti mengangkat
pejabat diplomatik dan menunjuk warga negara untuk duduk dalam jabatan lembaga
internasional, menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian dengan
negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri dan sebagainya;
pertahanan misalnya mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata, menyatakan
damai dan perang, menyatakan negara atau sebagian willayah negara dalam keadaan
bahaya, membangun dan mengembangkan sistem pertahanan negara dan persenjataan,
menetapkan kebijakan wajib militer, bela negara bagi setiap warga negara dan
sebagainya; keamanan misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian negara,
menetapkan kebijakan keamanan nasional, menindak setiap orang yang melanggar
hukum negara, menindak kelompok atau organisasi yang kegiatannya mengganggu
keamanan negara dan sebagainya; moneter misalnya mencetak uang dan menentukan
nilai mata uang, menetapkan kebijakan moneter, mengendalikan peredaran uang dan
sebagainya; yustisi misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan
jasa, mendirikan lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan
keimigrasian, memberikan grasi, amnesti, abolisi, membentuk UU, Peru, PP dan
peraturan lain berskala nasional dan lain sebagainya; agama misalnya menetapkan
hari libur keagamaan yang belaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap
keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan
keagamaan dan sebagainya; dan bagian tertentu urusan pemerintah lainnya yang
berskala nasional, tidak diserahkan kepada daerah.
Di dalam menyelenggarakan urusan pemerintah tersebut
di atas, Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian
urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah
atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa.
Penyerahan urusan dari pemerintah kepada daerah
disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta
kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan, sedangkan urusan
pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai dengan pendanaan sesuai
dengan urusan yang didekonsentrasikan.
Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
pemerintah di luar urusan pemerintahan tersebut di atas, pemerintah dapat:
1. Menyelenggarakan sendiri
sebagian urusan pemerintahan;
2. Melimpahkan sebagian urusan
pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah;
3. Menugaskan sebagian urusan
kepada pemerintahan daerah/dan atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas
pembantuan.
Kriteria
Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan
Penyelenggaraan urusan pemerintahan di sampingg
tunduk pada asas-asas penyelenggaraan negara, juga didasarkan pada kriteria
yang memberikan kewenangan kepada penyelenggara negara landasan yang kuat bagi
terbentuknya hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah.
Di dalam menyelenggarakan
kewenangannya, Pemerintah membina hubungan dengan pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten dan kota atau antara pemerintah daerah yang saling terkait,
tergantung dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan.
Penyelenggaraan urusan
pemerintahan dalam membina hubungan dengan pemerintahan daerah dibagi
berdasarkan kriteria sebagai berikut:
1. Eksternalitas
Yang
dimaksud dengan kriteria eksternalitas adalah penyelenggara suatu urusan
pemerintahan ditentukan berdasarkan luas, besaran dan jangkauan dampak yang
timbul akibat penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan.
2. Akuntabilitas
Maksudnya adalah penanggung jawab penyelenggaraan suatu
urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan
kedekatannya dengan luas, besaran dan
jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan
pemerintahan.
3. Efisiensi
Maksudnya adalah penyelenggara
suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya guna
yang paling tingi yang dapat diperoleh.
Lembaga
Penyelenggara Pemerintahan Tingkat Pusat
Lembaga-lembaga penyelenggara
pemerintahan tingkat pusat adalah Departemen, Menteri Koordinator (Menko),
Menteri Negara (Meneg), Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND),
Kesekretariatan yang membantu Presiden; Kejaksaan Agung, Perwakilan RI di Luar
Negeri, Tetara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara RI (Polri),
Badan/Lembaga Ekstra Struktural dan Badan Independen.
1.
Departemen
Berdasarkan ketentuan pasal 25
ayat (1) Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2005 disebutkan bahwa departemen dalam
pemerintahan negara RI merupakan unsur pelaksana pemerintah. Dalam ayat (2)
dinyatakan bahwa departemen dipimpin oleh menteri negara yang berada di bawah
dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Departemen pada
umumnya harus menyelenggarakan fungsi-fungsi:
a. Perumusan kebijakan nasional,
kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis di bidangnya.
b. Pelaksanaan urusan pemerintahan
sesuai dengan bidang tugasnya.
c. Pengelolaan barang
milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya.
d. Pengawasan atas pelaksanaan
tugasnya.
e. Penyampaian laporan hasil evaluasi,
saran dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada Presiden.
Susunan
organisasi:
a. Menteri
b. Sekretaris Jenderal, yang
bertugas melaksanakan pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas dan
administrasi departemen.
c. Direktorat Jenderal, yang
bertugas melaksanakan rumusan dan melaksanakan kebijakan serta standarisasi
teknis di bidangnya.
d. Inspektorat Jenderal, mempunyai
tugas melaksanakan pengawasan fungsional.
e. Staf ahli, mempunyai tugas
memberikan telaahan mengenai masalah tertentu sesuai bidang tugasnya.
f.
Badan, dibentuk bila tugas & fungsi unsur penunjang tugas departemen tidak
bisa dilaksanakan oleh organisasi setingkat Pusat.
g. Pusat, dapat dibentuk unsur
penunjang tugas departemen.
h. Instansi Vertikal, dapat
dibentuk di departemen yang kewenangannya tidak diserahkan kepada daerah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
i. Unit pelaksana teknis, dapat
dibentuk secara selektif sebagai pelaksana tugas teknis penunjang.
2.
Kementerian Koordinator
Kedudukan
Kementerian Koordinator adalah
unsur pelaksana pemerintah yang dipimpin oleh Menteri Koordinator yang berada
di bawah dan bertanggung jawab keapda Presiden.
Tugas
Kementerian Koordinator
mempunyai tugas membantu Presiden dalam mengkoordinasikan perencanaan dan
penyusunan kebijakan, serta mensinkronisasikan perencanaan dan penyusunan
kebijakan, serta mensikronkan pelaksanaan kebiijakan di bidangnya.
Fungsi
1) Koordinasi perencanaan dan
penyusunan kebijakan di bidangnya.
2) Sinkronisasi pelaksanaan
kebijakan di bidangnya.
3) Pengendalian penyelenggaraan
kebijakan, sebagaimana dimaksud pada butir 1 dan 2.
4) Pengelolaan barang
milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya.
5) Pengawasan atas pelaksanaan
tugasnya.
6) Pelaksanaan tugas tertentu yang
diberikan oleh Presiden.
7) Penyampaian hasil evaluasi,
saran dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada Presiden.
Koordinasi
a. Kementerian Koordinator Bidang
Politik, Hukum dan Keamanan, mengkoordinasikan:
1. Departemen Dalam Negeri
2. Departemen Luar Negeri
3. Departemen Pertahanan
4. Departemen Hukum dan HAM
5. Kejaksaan Agung
6. BIN
7. TNI
8. POLRI
9. Instansi yang dianggap perlu
b. Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian, mengkoordinasikan:
1. Departemen Keuangan
2. Departemen ESDM
3. Departemen Perindustrian
4. Departemen Perdagangan
5. Departemen Pertanian
6. Departemen Kehutanan
7. Departemen Perhubungan
8. Departemen Kelautan dan
Perikanan
9. Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi
10. Departemen Pekerjaan Umum
11. Kementerian Negara Kominfo
12. Kementerian Ristek
13. Kementerian Koperasi dan UKM
14. Kementerian Negara Pembangunan
Daerah Tertinggal
15. Instansi yang dianggap perlu.
c. Kementerian Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat mengkoordinasikan:
1. Departemen Kesehatan
2. Departemen Diknas
3. Departemen Sosial
4. Departemen Agama
5. Departemen Budpar
6. Kementerian Negara Lingkungan
Hidup
7. Kementerian Negara Pemberdayan Perempuan
8. Kementerian Negara PAN
9. Kementerian Negara Perumahan
Rakyat
10. Kementerian Negara Pemudan dan
Olah raga
11. Instansi lain yang dianggap
perlu.
3.
Kementerian Negara
Kedudukan
Kementerian Negara adalah unsur
pelaksana pemerintah yang dipimpin oleh Menteri Negara yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Presiden.
Tugas
Kementerian Negara mempunyai
tugas membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang
tertentu dalam kegiatan pemerintahan negara.
Fungsi
Kementerian Negara
menjalankan fungsi
1. Perumusan kebijakan nasional di
bidangnya.
2. Koordinasi pelaksanaan
kebijakan di bidangnya.
3. Pengelolaan barang
milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya.
4. Pengawasan atas pelaksanaan
tugasnya.
5. Penyampaian laporan hasil evaluasi,
saran dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada Presiden.
4.
Lembaga Pemerintah Non
Departemen (LPND)
LPND adalah
lembaga pemerintah pusat yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintahan
tertentu dari Presiden. Kepala LPND berada di bawah dan bertanggung jawab
langsung kepada Presiden.
Berdasarkan Keppres No. 103
Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, yang beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Presiden No. 11 Tahun 2005, LPND mempunyai kegiatan
melaksanakan tugas pemerintahan tertentu dari Presiden sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan
Peraturan Presiden No. 11 Tahun 2005, LPND terdiri dari:
1) Lembaga Administrasi Negara /
LAN
2) Arsip Nasional Republik
Indonesia / ANRI
3) Badan Kepegawaian Negara / BKN
4) Perpustakaan Nasional RI /
PERPUSNAS
5) Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional / BAPPENAS
6) Badan Pusat Statistik / BPS
7) Badan Standarisasi Nasional /
BSN
8) Badan Pengawas Tenaga Nuklir /
BAPETEN
9) Badan Tenaga Nuklir Nasional /
BATAN
10) Badan Intelijen Negara / BIN
11) Lembaga Sandi Negara / LEMSANEG
12) Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional / BKKBN
13) Lembaga Penerbangan Antariksa
Naional / LAPAN
14) Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan
Nasional / BAKORSUTANAL
15) Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan / BPKP
16) Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia / LIPI
17) Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi / BPPT
18) Badan Koordinasi Penanaman
Modal / BKPM
19) Badan Pertanian Nasional / BPN
20) Badan Pengawasan Obat dan
Makanan / BPOM
21) Lembaga Ketahanan Nasional /
LEMHANAS
22) Badan Meteorologi dan Geofisika
/ BMG
Wewenang secara organisatoris,
LPND berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, tetapi
dalam pelaksanaan tugas operasional dikoordinasikan oleh atau mendapat
pembinaan teknis dari menteri tertentu.
Sebagai contoh
berdasarkan Peraturan Presiden No. 11 Tahun 2005, antara lain ditetapkan:
a. Menteri Dalam Negeri bagi BPN.
b. Menteri Pertahanan bagi
LEMSANEG dan LEMHANAS.
c. Menteri Perdagangan bagi BPKM.
d. Menteri Kesehatan bagi BPOM dan
BKKBN.
e. Menteri Pendidikan Nasional
bagi PERPUSNAS.
f. Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara bagi LAN, BKN, BPKP dan ANRI.
g. Menteri Negara Riset dan
Teknologi bagi LIPI, LAPAN, BPPT, BATAN, BAPETEN, BAKOSURTANAL dan BSN.
h. Menteri Negara Perencanaan dan
Pembangunan bagi BAPPENAS dan BPS.
i. Menteri Perhubungan bagi BMG.
5.
Kesekretariatan yang Membantu
Presiden (Peraturan
Presiden No. 31 Tahun 2005)
a. Sekretariat Negara
Lembaga pemerintah yang
dipimpin oleh Menteri Sekretaris Negara, berkedudukan di bawah dan bertanggung
jawab kepada Presiden. Sekretariat negara dipimpin oleh Menteri Sekretaris
Negara.
b. Sekretaris Kabinet
Lembaga
pemerintah yang dipimpin oleh Sekretaris Kabinet, berkedudukan di bawah dan
bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Sekretaris Kabinet dipimpin oleh
Menteri Sekretaris Kabinet.
6.
Kejaksaan Agung
Berdasarkan UU
No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan dan Keppres No. 55 Tahun 1991 tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan, Kejaksaan Agung adalah lembaga
kejaksaan tingkat pusat.
a. Kejaksaan adalah lembaga
pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara terutama di bidang penuntutan
dalam tata susunan kekuasaan badan-badan pengadilan hukum dan keadilan, yang
dipimpin oleh Jaksa Agung yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
b. Kejaksaan terdiri dari
Kejaksaan Agung di tingkat pusat, Kejaksaan Tinggi di tingkat Provinsi dan
Kejaksaan Negeri di Kabupaten/Kota, yang ketiganya merupakan satu kesatuan.
c. Dalam bidang perdata dan tata
usaha negara, kejaksaan dengan kuasa dapat bertindak di dalam dan di luar
pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
d. Kejaksaan dapat memberikan
pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.
e. Dalam
memimpin kejaksaan, Jaksa Agung dibantu
seorang Wakil Jaksa Agung dan beberapa orang Jaksa Agung Muda.
7.
Perwakilan RI di Luar Negeri
Perwakilan RI di luar negeri
adalah satu-satunya aparatur yang mewakili kepentingan negara RI secara
keseluruhan di negara lain atau pada organisasi internasional dan dapat berupa
Kedutaan Besar RI (KBRI), Konsulat Jenderal RI (KONJEN RI), Konsulat RI,
Perutusan tetap RI (PTRI) pada PBB maupun perwakilan RI tertentu yang bersifat
sementara. Perwakilan RI terdiri atas Perwakilan Diplomatik dan Perwakilan
Konsulat.
a. Perwakilan Diplomatik
Kegiatan
Perwakilan Diplomatik mencakup semua kepentingan negara RI dan wilayah kerjanya
meliputi seluruh wilayah negara penerima atau yang bidang kegiatannya meliputi
bidang kegiatan suatu organisasi internasional.
Perwakilan Diplomatik terdiri
dari Kedutaan Besar RI dan Perwakilan Tetap RI yang dipimpin oleh seorang Duta
Besar Luar Biasa dan berkuasa penuh dan bertanggung jawab kepada Presiden
selaku Kepala Negara melalui Menteri Luar Negeri.
b. Perwakilan Konsuler
Kegiatan
Perwakilan Konsuler meliputi semua kepentingan negara RI di bidang konsuler dan
mempunyai wilayah kerja tertentu dalam wilayah negara penerima.
Perwakilan
Konsuler terdiri dari Konsulat Jenderal (Konjen) dan Konsulat masing-masing
dimpimpin oleh Konsulat Jenderal, dan konsul bertanggung jawab kepada Duta
Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh yang membawahinya.
Konjen
dan Konsul yang tidak berada di bawah tanggung jawab Duta Besar Luar Biasa dan
Berkuasa Penuh bertanggung jawab kepada Menteri Luar Negeri.
Tugas
pokok Perwakilan Konsuler adalah mewakili negara RI dalam melaksanakan hubungan
konsuler dengan negara penerima di bidang perekonomian, perdagangan,
perhubungan, kebudayaan dan ilmu pengetahuan sesuai dengan kebijaksanaan
pemerintah yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, termasuk hukum dan tata cara hubungan internasional.
8.
Tentara Nasional Indonesia
(TNI)
Jati diri,
peran, fungsi dan tugas kedudukan TNI diatur dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang
Tentara Nasional Indonesia. Di dalamnya dinyatakan bahwa jati diri TNI yaitu:
a. Tentara rakyat, yaitu tentara
yang anggotanya berasal dari warga Negara Indonesia.
b. Tentara pejuang, yaitu tentara
yang berjuang menegakkan NKRI dan tidak menyerah dalam melaksanakan dan
menyelesaikan tugasnya.
c. Tentara nasional, yaitu tentara
kebangsaan Indonesia yang bertugas demi kepentingan negara dan di atas
kepentingan daerah, suku, ras dan golongan agama.
d. Tentara profesional, yaitu
tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik
praktis, tidak berbisnis dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti
kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, HAM,
ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi.
Peran:
TNI berperan sebagai alat
negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan
kebijakan dan keputusan politik negara.
Fungsi:
TNI sebagai alat
negara, berfungsi sebagai:
a. Penangkal terhadap setiap
bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri
terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa.
b. Penindak terhadap setiap bentuk
ancaman sebagaimana pada huruf a.
c. Pemulih terhadap kondisi
keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan.
Tugas
Tugas pokok TNI
adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan
negara.
Tugas pokok tersebut
dilakukan dengan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain
perang.
9.
Kepolisian Negara RI (POLRI)
Pergeseran
paradigma pengabdian POLRI yang sebelumnya cenderung digunakan sebagai alat
penguasa ke arah mengabdi bagi kepentingan masyarakat telah membawa berbagai
implikasi perubahan yang mendasar. Salah satu perubahan itu adalah perumusan
kembali perannya sesuai dengan UU No. 2 Tahun 2002 yang menetapkan Polri
berperan selaku pemelihara kamtibnas, penegak hukum, pelindung, pengayom, dan pelayan
masyarakat. Arah kebijakan strategi Polri yang mendahulukan tampilan selaku
pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat dimaksud bahwa dalam setiap kiprah
pengabdian anggota Polri baik sebagai pemelihara kamtibnas maupun sebagai
penegak hukum haruslah dijiwai oleh tampilan perilaku sebagai pelindung,
pengayom dan pelayan masyarakat, sejalan dengan paradigma barunya yang mengabdi
bagi kepentingan masyarakat.
Peran, tugas, susunan dan
kedudukan Polri secara pokok-pokoknya diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara.
Peran dan tugas
POLRI:
a. POLRI merupakan alat negara
yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan
hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
b. Selain tugas pokok tersebut,
POLRI juga melaksanakan tugas:
1) Melaksanakan pengaturan,
penjagaan, pengawalan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah
sesuai kebutuhan.
2) Menyelenggarakan segala
kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas jalan.
3) Membina masyarakat untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan
warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan.
4) Turut serta dalam pembinaan
hukum nasional.
5) Memelihara ketertiban dan
menjamin keamanan umum.
6) Melakukan koordinasi,
pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik PNS dan
bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.
7) Melakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan
perturan perundang-undangan lainnya.
8) Menyelenggarakan indentifikasi
kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi
kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian.
9)
Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat
dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk
memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
10) Melayani
kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani instansi
dan/atau pihak yang
berwenang.
11) Memberikan pelayanan keapda masyarakat
sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian.
12) Melaksanakan tugas lain sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
10. Badan/Lembaga
Ekstra Struktural dan Badan Independen
Untuk memberi
pertimbangan kepada Presiden atau Menteri, atau dalam rangka koordinasi atau
pelaksanaan kegiatan tertentu atau membantu tugas tertentu dari suatu
departemen, dibentuk badan/lembaga yang bersifat ekstra struktural.
Badan/lembaga ini tidak termasuk dalam daftar struktur organisasi Menko,
departemen atau LPND. Badan/lembaga ini dapat diketuai oleh Menteri, bahkan
Wakil Presiden dan Presiden sendiri. Sedangkan nomenklatur yang digunakan
antara lain adalah dewan, badan, lembaga tim, dan lain-lain seperti:
a. Dewan Ekonomi Nasional (DEN)
b. Dewan Pemulihan Usaha Nasional
(DPUN)
c. Dewan Pertimbangan Otonomi
Daerah (DPOD)
d. Badan Pertimbangan Kepegawaian
(BAPEK)
e. Badan Pelaksanaan APEC
f. Badan Pertimbangan Jabatan
Nasinal (BAPERJANAS)
g. Lembaga Sensor Film
h. Tim Pengembangan Industri
i. Hankam
j. Tim Koordinasi Penanganan
Masalah Pertahanan
k. Komite Pemilihan Umum
l. Komite Olahraga Nasinal
Indonesia (KONI)
m. Komite Kepolisian Negara
Di samping itu
untuk membantu mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, pemerintah
membentuk lembaga independen, seperti:
a. Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM)
b. Komisi Ombudsman Nasional (KON)
c. Komisi Pemilihan Umum (KPU)
d. Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara (KPKPN)
Lembaga-lembaga
ini walaupun dibentuk dan dibiayai oleh pemerintah, tetapi bekerja secara
independen.
Lembaga
Penyelenggara Pemerintahan Tingkat Daerah
Secara
konstitusional, penyelenggaraan pemerintah daerah diatur dalam pasal 18 UUD
1945 dan setelah mengalami amandemen keempat, menjadi pasal 18, 18A dan 18B.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemerintah daerah mula-mula diatur dalam UU No.
5 Tahun 1974, kemudian diganti dengan UU No. 22 Tahun 1999 dan seiring dengan
perkembangan zaman dan keinginan untuk memberikan peran yang lebih besar kepada
daerah untuk mengatur daerahnya masing-masing, maka UU No. 22 Tahun 1999
diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Sistem
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dianut selama ini tetap dipertahankan,
meskipun terjadi perubahan rumusan, yaitu didasarkan atas asas desentralisasi,
asas dekonsentrasi dan asas tugas pembantuan. Dalam menampung aspirasi daerah,
asas penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut kemudian dalam UU No. 32
Tahun 2004 ditambah dengan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Sesuai
dengan ketentuan pasal 1 UU No. 32 Tahun 2004 asas-asas penyelenggaraan pemerintahan
tersebut dirumuskan sebagai berikut:
1. Desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan
wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah
dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
3. Tugas
pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dan
dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari
pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
4. Daerah otonom adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI.
5. Otonomi dan tugas pembanuan
Sesuai
dengan penjelasan pasal 2 ayat (2), yang dimaksud dengan “asas otonomi dan
tugas pembantuan” adalah bahwa pelaksanaan urusan pemerintah oleh daerah dapat
diselenggarakan secara langsung oleh pemerintah daerah itu sendiri dan dapat
pula penugasan oleh pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/kota dan desa
atau penugasan dari pemerintah kabupaten/kota ke desa.
Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah
UU No. 32 Tahun 2004 pada
pokoknya mengatur hal-hal sebagai berikut:
1. NKRI dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang
masing-masing mempunyai pemerintahan daerah yang mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
2. Dalam menjalankan tugas
pemerintahan, Pemerintah Pusat menggunakan asas desentralisasi, tugas
pembantuan dan dekonsentrasi.
3. Pemerintah Daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan
Pemerintah Pusat.
4. Pemerintah Daerah adalah:
a. Pemerintahan daerah provinsi
yang terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD Provinsi.
b. Pemerintah
daerah kabupaten/kota yang terdiri atas pemerintah daerah kabupaten/kota dan
DPRD kabupaten/kota.
5. Pemerintah Daerah terdiri atas
kepala daerah dan perangkat daerah.
6. Perangkat daerah provinsi
terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah dan lembaga
teknis daerah. Sedangkan perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas
sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah dan lembaga teknis daerah,
kecamatan dan kelurahan.
7. Dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang
disebut kepala daerah. Kepala daerah provinsi adalah Gubernur, untuk daerah
kabupaten adalah Bupati, sedangkan untuk kota adalah Walikota, yang
masing-masing dibantu oleh seorang wakil kepada daerah (wakil gubernur, wakil
bupati dan wakil walikota).
8. Gubernur yang karena jabatannya
berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah Pusat di wilayah proviinsi yang
bersangkutan dan dalam kedudukannya tersebut Gubernur bertanggung jawab kepada
Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
9. Dalam menyelenggarakan
pemerintahan daerah, Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang:
a. Memimpin penyelenggaraan
pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD.
b. Mengajukan rancangan Perda.
c. Menetapkan Perda yang telah
mendapat persetujuan bersama DPRD.
d. Menyusun
dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan
ditetapkan bersama.
e. Mengupayakan terlaksananya
kewajiban daerah.
f. Mewakili daerahnya di dalam dan
di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
g. Melaksanakan tugas dan wewenang
lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
10. Dalam kedudukannya sebagai
wakil pemerintah, Gubernur mempunyai tugas dan wewenang:
a. Pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
b. Koordinasi penyelenggaraan
urusan Pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota.
c. Koordinasi
pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi
dan kabupaten/kota.
d. Koordinasi
pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi
dan kabupaten/kota.
11. Pembentukan daerah dapat berupa
penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau
pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.
12. Pembentukan daerah harus
memenuhi syarat.
a. Administratif
Untuk
provinsi meliputi adanya persetujuan DPRD Kabupetan/kota dan Bupati/Walikota
yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD Provinsi induk dan
Gubernur, serta rekomendasi Mendagri. Untuk kabupaten/kota meliputi adanya
persetujuan DPRD Kabupaten/Kota dan Bupati/Walikota yang bersangkutan,
persetujuan DPRD Provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Mendagri.
b. Teknis
Meliputi
faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan
ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, kependudukan, luas daerah, pertahanan,
keamanan dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya OTDA.
c. Fisik
Meliputi
paling sedikit 5 kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit 5
kecamatan untuk pembentukan kabupaten dan 4 kecamatan untuk membentuk kota,
lokasi calon ibu kota, sarana dan prasarana pemerintahan.
Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya, DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.
Tugas dan wewenang DPRD:
1. Membentuk Perda yang dibahas
dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama.
2. Membahas dan menyetujui rencana
Perda tentang APBD bersama dengan kepala daerah.
3. Melaksanakan pengawasan
terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala
daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program
pembangunan daerah dan kerja sama internasional di daerah.
4. Mengusulkan pengangkatan dan
pemberhentian kepala daerah/wakil kepada daerah kepada Presiden melalui Menteri
Dalam Negeri bagi DPRD Provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui
Gubernur bagi DPRD kabupaten/kota.
5. Memilih wakil kepala daerah
dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah.
6. Memberikan pendapat dan
pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional
di daerah.
7. Memberikan persetujuan terhadap
rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
8. Meminta laporan keterangan
pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
9. Membentuk panitia pengawas
pemilihan kepala daerah.
10. Memberikan persetujuan terhadap
rencana kerja sama antardaerah dan dengan pihak ketiga yang membebani
masyarakat dan daerah.
Hak DPRD : interpelasi, angket
dan menyatakan pendapat.
Kecamatan
Kecamatan dibentuk di wilayah kabupaten/kota dengan
Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Kecamatan dipimpin oleh Camat yang
dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati atau
walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah.
Camat diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul
sekretaris daerah kabupaten/kota dari pegawai negeri sipil yang menguasai
pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Dalam menjalankan tugas-tugasnya, camat dibantu
oleh perangkat kecamatan dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui
Sekretaris Daerah kabupaten/kota.
Kelurahan
Kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan dengan Perda
berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Kelurahan dipimpin oleh Lurah yang dalam
pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang dari
Bupati/Walikota.
Lurah diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Camat
dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan
memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam
melaksanakan tugasnya, Lurah dibantu oleh perangkat kelurahan dan Lurah
bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Camat. Untuk kelancaran
pelaksanaan tugas Lurah, dapat dibentuk lembaga lainnya sesuai dengan kebutuhan
yang ditetapkan dengan Perda.
Langganan:
Postingan (Atom)